jam

Kamis, 27 Juni 2013

potensi mengembangkan ternak diindonesia


Hal ini diungkapkan oleh Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec., Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB serta staf pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB pada acara munas Apfindo beberapa waktu lalu di Jakarta.
Menurut Arif, mengutip McKinsey Global Institute, saat ini Indonesia menempati urutan 16 ekonomi terbesar di dunia. Memiliki 45 juta penduduk kelas konsumsi dengan 53 persen populasi di kota memproduksi 74 persen GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto). Sementara Indonesia pada tahun 2030 nanti akan menempati urutan ke-7 ekonomi terbesar di dunia, dengan 135 juta penduduk kelas menengah dan memiliki 71 persen populasi di kota yang mampu memproduksi 86 persen GDP. Dan peluang pasar yang akan tercipta sekitar $1,8 miliar pada layanan publik, agriculture dan perikanan, tambang dan pendidikan.
“Berbicara masalah industri perunggasan di Indonesia, kita sering lupa untuk memahami teori ekonomi dasar. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan antara lain jumlah penduduk, tingkat urbanisasi, tingkat pendapatan, distribusi pendapatan yang merupakan revolusi peternakan, kualitas produk (segmentasi pasar), selera, relative cost price advantage, revolusi supermarket dan kebijakan pemerintah,” jelas Arif.
Saat ini ketahanan pangan dan keamanan pangan tengah menjadi perhatian seluruh negara. Bagaimana untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan negaranya di tengah kondisi iklim dan cuaca yang tidak menentu. Dan di sinilah Indonesia memiliki peluang untuk dapat memenuhi kebutuhan dengan mencapai swasembada pangan. Kementerian pertanian sebagai salah satu kementerian yang berhubungan langsung terhadap kondisi ini telah pula menerapkan beberapa kebijakan, salah satunya ialah untuk pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau.
Ketahanan pangan, kata Arif, menurut FAO (2001) merupakan situasi ketika setiap orang sepanjang waktu mempunyai akses fisik, sosial dan ekonomi  terhadap pangan yang bergizi, aman dan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizinya sesuai dengan selera budaya (food preferences), untuk melaksanakan hidup yang sehat dan aktif.
Definisi ketahanan pangan menurut UU No. 7 tahun 1996: “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.
Sementara Food security exists when people at all times have physical, social, and economic access to sufficient and nutritious food that meets their dietary needs for a healthy and active life (Economist Intelligence Unit, 2012).
Arif mengatakan bahwa faktor-faktor kunci industrialisasi peternakan ialah Permintaan produk-produk ternak yang terus meningkat dikarenakan Pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, semakin banyaknya penduduk kelas menengah, urbanisasi, harapan hidup semakin besar dan penduduk usia tua. Diversifikasi menuju produksi komoditas bernilai tinggi (high-value production) dengan proses berdasarkan permintaan dimana peranan swasta sangat vital, pola pengeluaran makanan yang bergeser dari biji-bijian dan makanan pokok ke sayur-mayur, buah, daging, susu, telur dan ikan. Permintaan makanan yang “ready-to-cook” dan “ready-to-eat” semakin meningkat, terutama di daerah perkotaan. Perubahan dan transfer teknologi yang semakin modern menyebabkan siklus produksi yang semakin pendek, FCR yang semakin rendah. Keamanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta kebijakan substitusi dan promosi ekspor.
Untuk itu, Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya. Dari perspektif mikro daya saing didefinisikan sebagai pertumbuhan produktivitas yang berkelanjutan yang didorong oleh kualitas operasi dan strategi bisnis, kualitas lingkungan bisnis dan iklim ekonomi makro yang sehat dan kondusif (Yener, 2002).

4 komentar: